hukum konstitusi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Konstitutionalisme, adalah sebuah paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.[1] Dalam pengertian yang jauh lebih luas jangkauannya, menurut Soetandyo, ide konstitusi disebutnya sebagai konstitutionalisme, dan digambarkan bahwa paradigma hukum perundang-undangan sebagai penjamin kebebasan dan hak – yaitu dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan yang terbilang kewenangan (dan mana pula yang apabila tidak demikian harus dibilang sebagai kesewenang-wenangan) inilah yang di dalam konsep moral dan metayuridisnya disebut “konstitutionalisme”.[2]
Paham ini mengantarkan perdebatan awal dalam sistem ketatanegaraan yang diatur dalam teks hukum dasar sebuah negara, atau disebut kontitusi. Kutipan fikiran Rousseau di atas, telah mengilhami lahirnya De Declaration des Droit de l’Homme et du Citoyen, dan pembentukan Konstitusi Perancis (1791), serta cikal bakal lahirnya berbagai konstitusi modern di dunia.
Selain dalam bentuknya yang tertulis, konstitusi-konstitusi modern di dunia, ditandai salah satunya oleh penegasan atau pengaturan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia.[3]


Konstitusi-konstitusi yang mengadopsi prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia, setidaknya telah mendorong pada suatu idealitas sistem politik (ketatanegaraan) yang bertanggung jawab pada rakyatnya, karena menegaskannya dalam hukum dasar atau tertinggi di suatu negara. Di sinilah sesungguhnya konteks relasi negara-rakyat diuji, tidak hanya dalam bentuknya yang termaterialkan dalam konstitusi sebuah negara, tetapi bagaimana negara mengimplementasikan tanggung jawabnya atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
Indonesia yang memiliki konsepsi hak-hak asasi manusia dalam hukum dasarnya sejak tahun 1945, menunjukkan adanya corak konstitutionalisme yang dibangun dan terjadi konteksnya pada saat menginginkan kemerdekaan atau lepasnya dari penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain, atau bisa disebut memiliki corak konstitutionalisme yang anti kolonialisme.
Secara substansi, hak-hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi tertulis di Indonesia senantiasa mengalami perubahan seiring dengan konteks perubahan peta rezim politik yang berkuasa. Dari UUD, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945 dan kini UUD 1945 Pasca Amandemen. Berdasarkan dinamika dan perkembangan atas perubahan konstitusi tertulis di Indonesia, khususnya yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia, maka sangat penting dikaji dalam hubungannya memahami konstruksi hukum tanggung jawab negara dalam pelaksanaannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud Konstitusionalisme dan hubungan Hak Asasi Manusia dengan konstitusi?
2.      Bagaimana corak konstitusionalisme dalam konstitusi khususnya UUD 1945?
3.      Bagaimana gagasan dan konsepsi Tanggung Jawab Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui dan memahami yang dimaksud Konstitusionalisme dan hubungan Hak Asasi Manusia dengan konstitusi
2.      Mengetahui bagaimana corak konstitusionalisme dalam konstitusi khususnya UUD 1945
3.      Memahami gagasan dan konsepsi Tanggung Jawab Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945

D.    MANFAAT
Penulisan makalah ini menghasilkan manfaat bagi mahasiswa yaitu sebagai berikut.
1.      Menambah pemahaman mengenai konsep kebijakan sebagai dasar pemahaman mata kuliah Kebijakan Publik
2.      Meningkatkan minat baca serta mencari referensi sebagai dasar pembuatan makalah.
3.      Melatih kerjasama tim dalam menyusun dan melatih keterampilan menulis serta  pembuatan makalah.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konstitusionalisme dan hubungan Hak Asasi Manusia dengan konstitusi
Konstitusionalisme adalah suatu konsep atau gagasan yang berpendapat bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi, agar penyelenggaraan negara tidak sewenang-wenang atau otoriter. Ide konstitusionalisme ini kemudian diadopsi oleh para Founding Fathers Amerika Serikat sebagai dasar mereka merumuskan dasar negara yang demokratis. Salah satu peletak ide ini adalah John Locke, dengan konsep Trias politica.[4]

1.      Latar Belakang dan Sejarah Konstitusionalisme
Konsep konstitusionalisme sendiri sebenarnya telah ada dan berkembang jauh sebelum undang-undang dasar pertama dirumuskan. Ide pokok dari konstitusionalisme adalah bahwa pemerintah sebagai penyelenggara negara perlu dibatasi kekuasaannya (the limited states) agar tidak sewenang-wenang dalam memerintah. Konstitusionalisme menganggap bahwa suatu undang-undang dasar atau konstitusi adalah jaminan untuk melindungi rakyat dari perilaku semena-mena pemerintah. Dengan demikian konstitusionalisme melahirkan suatu konsep lainnya yang disebut sebagai “negara konstitusional” atau (the constitutional state), dimana undang-undang dasar menjadi instrument yang paling efektif dengan menjalankan konsep Rule of Law atau Negara Hukum (Rechtsstaat).
Konstitusionalisme mendasari gagasannya pada ide, kedaulatan hukum yang lahir dari konsensus yang melibatkan seluruh rakyat atau perwakilan daripada rakyat untuk menyusun konstitusi yang menjadi landasan kehidupan bernegara. Konstitusionalisme juga menekankan pada aspek Kedaulatan Rakyat, karena


menurut cara pandang konstitusionalis, kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, dan negara harus bekerja untuk rakyat sesuai dengan undang-undang yang telah diakui bersama.
Paham konstituionalisme sendiri sebenarnya telah ada jauh sebelum para ahli konstitusi diatas merumuskan konstitusi itu sendiri. Konstitusionalisme lahir dari keinginan rakyat yang tepatnya pada Abad Pertengahan atau (Middle Ages) di Eropa, dimana saat itu kekuasaan feodalisme dan monarkisme masih berjaya. Kemudain ada tuntutan untuk adanya perlindungan atas hak-hak warga negara, yang kemudian tertuang dalam piagam hak asasi pertama di dunia, yaitu Magna Carta. Meskipun belum sempurna tetapi Magna Charta dianggap sebagai awal gagasan tentang konstitusionalisme paling awal dalam sejarah peradaban manusia.[5]
Di Inggris, ada sebuah perjanjian yang dibuat oleh kalangan bangsawan dengan Kerajaan di Inggris itu kemudian diberinama Charter of English Liberties, yang kemudian diproklamirkan oleh Raja Henry I. Piagam ini dibuat sebagai bentuk konsekuensi seorang Raja Henry I dalam melindungi hak-hak yang dimiliki rakyatnya, tanpa terkecuali. Piagam ini kemudian menjadi salah satu tonggak sejarah berdirinya monarki konstitusional di Britania Raya.
Khusus di Inggris pada tahun 1215, muncul lagidesakan dalam perlindungan hak-hak sipil, saat itu Raja John dipaksa oleh beberapa golongan bangsawan untuk mengakui beberapa hak mereka – antara lain Raja John harus menjamin bahwa pemungutan pajak tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari yang bersangkutan (wajib pajak). Pada waktu yang sama, juga disetujui bahwa penangkapan atas seseorang yang dituduh bersalah harus melalui proses pengadilan sebagaimana yang telah tercantum dalam Magna Charta (Piagam Besar).

2.      Implementasi konstitusionalisme dalam Negara
Dalam hal aktualisasi nilai-nilai konstitusionalisme dalam sistem politik yang demokratis, maka konstitusi memberikan kejelasan dalam konsep Trias politica atau pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif dari John Locke. Keberadaan ketiga lembaga negara itu memastikan bahwa tidak ada kekuasaan yang saling tumpang tindih ataupun kekuaaan yang lebih kuat, karena itu ketiga lembaga itu kemudian melakukan power sharing ataupun distribution of power, selain itu pula ketiga lembaga negara bertugas saling mengawasi. Seperti yang ditulis dalam buku Introduction to Political Science yang dituilis oleh Carlton Clymer Rodee:

"memerintah berarti mengawasi, dan mengawasi dalam pengertian politik di dalam suatu negara memerlukan prinsip-prinsip tingkah laku yang lekat dengan prinsip-prinsip hukum, ukuran-ukuran, dan aturan-aturan yang dikukuhkan dengan sanksi, baik perdata maupun pidana."[6]

Artinya bahwa sudah jelas, konstitusi atau undang-undang memberikan acuan bagi penyelenggaraan negara agar pada pejabat ataupun aparatur negara tidak bisa berlaku sewenang-wenang karena mereka diawasi oleh lembaga-lembaga negara yang memiliki kedudukan hukum sebagai prinsip dasarnya yang kuat dan kokoh. Dengan prinsip Trias politica, maka diantara tiga lembaga kekuasaan itu -eksekutif, legislatif, dan yudikatif - bersifat saling mengawasi (prinsip check and balances), tujuannya nanti adalah terciptanya sebuah tatanan pemerintahan yang baik (good governance) dimana nilai-nilai demokrasi yang menjadi indikatornya.
Cara kerjanya adalah, legislatif membuat undang-undangnya karena legislatif adalah representasi atau perwakilan daripada rakyat, kemudian undang-undang itu dijalankan oleh eksekutif dalam bentuk kebijakan publik dalam melayani kebutuhan rakyat, dan yudikatif yang bertugas untuk mempertahankan dan menjaga undang-undang itu agar sesuai dengan koridornya dan tak ada yang menyalahinya, dan juga memebrikan sanksi jika ada yang melanggar undang-undang itu. Namun, kekurangan dari sistem ini adalah, terkadang konflik dapat terjadi antar-lembaga, terutama yang sering berkonflik adalah eksekutif dengan legislatif, jika penguasa ekeskutif dan legislatif berasal dari dua kekuatan politik yang bertentangan, maka sangat memungkinkan terjadinya selisih paham, yang membuat iklim politik menjadi tidak stabil.

3.      Konstitusi dan Hak Asasi Manusia
Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia. Oleh karena itu, Hak asasi manusia merupakan materi inti dari naskah undang-undang dasar negara modern. Hak Asasi Manusia (HAM), adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintahan, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Artinya, yang dimaksud sebagai hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia.
Keterkaitan antara konstitusi dengan hak asasi manusia juga dapat dilihat dari perkembangan sejarah. Perjuangan perlindungan hak asasi manusia selalu terkait dengan perkembangan upaya pembatasan dan pengaturan kekuasaan yang merupakan ajaran konstitusionalisme. Magna Charta (1215) dan Petition of Rights (1628) adalah momentum perlindungan hak asasi manusia sekaligus pembatasan kekuasaan raja oleh kekuasaan parlemen (house of commons).
John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan hak-hak indi­vidunya kepada penguasa. Yang diserahkan, menurutnya, hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu. John Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang disebutnya sebagai ”Second Treaties of Civil Government” yang juga menjadi judul bukunya. Dalam instansi pertama (the first treaty) adalah perjanjian antara individu dengan individu warga yang ditujukan untuk terbentuknya masyarakat politik dan negara. Instansi pertama ini disebut oleh John Locke sebagai “Pactum Unionis” berdasarkan anggapan bahwa:
Dalam instansi berikutnya yang disebutkannya sebagai “Pactum Subjectionis” Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap persetuju­an antar individu (pactum unionis) terbentuk atas dasar suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak-hak yang tak tertanggalkan yakni life, liberty serta estate, maka adalah logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada masing-masing individu.
Dasar pemikiran John Locke inilah yang di kemudian haru dijadikan landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Sebagai­mana yang kemudian terlihat dalam Declaration of Independence Amerika Serikat yang pada tanggal 4 Juli 1776 telah disetujui oleh Congress yang mewakili 13 negara baru yang bersatu. Kalimat kedua dari Declaration of Independence tersebut membuktikan adanya pengaruh dari pemikiran John Locke.
Montesquieu berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga bagian yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga bagian tersebut harus dipisahkan baik dari segi organnya maupun dari fungsinya. Pemisahan itu menurutnya sangat penting untuk mencegah ber­tumpuknya semua kekuasaan di tangan satu orang. Dengan ter­pisahnya kekuasaan negara dalam tiga badan yang mempunyai tugas masing-masing dan tidak boleh saling mencampuri tugas yang lain, maka dapatlah dicegah terjadinya pemerintahan yang absolut.
Oleh karena itu, kedua naskah deklarasi, yaitu Declaration of Independence Amerika Serikat (1776) dan Declaration des Droit de l'homme et du Citoyen Perancis (1789) sangat berpengaruh dan merupakan peletak dasar bagi perkembangan universal perjuangan hak asasi manusia. Kedua deklarasi ini, kemudian disusul oleh The Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 menjadi contoh bagi semua negara yang hendak membangun dan mengembangkan diri sebagai negara demokrasi yang menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia.
Instrumen-instrumen PBB yang merupakan peletak dasar juga bagi perkembangan universal perjuangan hak asasi manusia dapat kita susun secara berturut-turut sebagai berikut:
1)      Universal Declaration of Human Rights, 1948;
2)      Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948;
3)      International Convention on the Eliminationof All Forms of Racial Discrimination, 1965 ;
4)      International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, 1966;
5)      International Covenant on Civil and Political Rights, 1966;
6)      Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, 1979;
7)      Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, and Degrading Treatment or Punishment, 1984 ;
8)      Convention on the Rights of the Child, 1989.
Sementara itu, ada pula instrumen hak asasi manusia yang bersifat khusus di kawasan tertentu. Misalnya, di kalangan negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab (Arab League) telah pula berhasil menyepakati Arab Charter on Human Rights yang disahkan oleh the Council of the League of Arab States pada tanggal 15 September 1994. Satu-satunya kawasan yang dikenal paling majemuk dan karena itu belum dapat memiliki instrumen regional hak asasi manusia yang tersendiri, yaitu kawasan benua Asia.
Di kalangan tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (NGO’s), tentu sudah banyak prakarsa yang dilakukan untuk membicarakan mengenai hal ini. Dalam rangka peringatan 50 tahun Universal Declaration of Human Rights 1948, pernah diadakan suatu Euro-Asian Dialogue di antara Uni Eropah dan Negara-Negara ASEAN. Juga pernah diadakan dialogue antara Uni Eropah dengan Cina. Akan tetapi forum yang bersifat resmi belum pernah diadakan. Mungkin Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia sebagai negara demokrasi yang terbesar bersama India di kawasan Asia dapat mengambil prakarsa mengenai hal ini di masa yang akan datang.

B.     Corak Konstitusionalisme dalam Konstitusi UUD 1945
Sejarah dari negara-negara yang memiliki konstitusi merupakan sejarah gerakan perjuangan rakyat melawan tirani dan absolutisme, suatu perjuangan dari hak-hak dan kebebasan-kebebasan melawan kekuasaan yang sewenang-wenang dan mutlak. Oleh sebab itu, konstitusi, sekali lagi, bertujuan untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan mengontrol pelaksanaan dari kekuasaan itu, sehingga hak dan kebebasan rakyat itu dapat mengimbangi kekuasaan dan pelaksanaan pemerintahannya. Dalam diskursus konstitusi pula, soal kebebasan dan kekuasaan adalah fungsi yang saling melengkapi secara timbal balik. Diskursus tersebut melihat sebesar apa hubungan fungsional antara keduanya, tarik ulur antara besar-kecilnya kewenangan dan luas sempitnya kebebasan adalah suatu dinamika yang tak habis-habisnya dalam dunia politik. Termasuk keinginan untuk memasukkan pasal-pasal dalam soal hak asasi manusia dan tanggung jawab negara dalam pemenuhannya.
Tentu, bahwa konstitusi bukanlah sekedar sebagai dokumen atau pasal-pasal dan ayatayat hukum yang positif dan formal sifatnya, konstitusi itu tidak cuma menyuguhkan apa yang tersurat, melainkan juga menyiratkan ajaran atau doktrin penting tentang pembebasan dan kebebasan manusia hak-hak warga. Maka, ia juga menjadi ‘isme’, disebut konstitutionalisme yang mengajarkan keyakinan bahwa kekuasaan itu hanyalah fungsi kebebasan, dan tidak sebaliknya bahwa kewenangan itulah yang menjamin terwujudnya kebebasan. Ide konstitutionalisme memiliki dua esensi doktrinal: Pertama, doktrin kebebasan sebagai hak manusia yang tak hanya asasi akan tetapi juga kodrati, yang tidak bisa diambil alih kapanpun oleh kekuasaan manapun dalam kehidupan bernegara (inalienability). Kedua, doktrin rule of law atau doktrin supremacy state of law, yang mengajarkan otoritas hukum itu secara universal mestilah mengatasi otoritas politik, dan tidak sebaliknya.[7]
Soal kebebasan, dalam UUD 1945 pasca amandemen tersurat tiga kali kata ‘kebebasan’ dalam konteks hak35, dan dua kali dalam konteks kewajiban asasi setiap orang. Pengaturan tersebut menjadi landasan bagi negara untuk melakukan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan atas kebebasan warganya, dalam arti bahwa kebebasan yang menjadi hak konstitutional warga negara harus dijamin oleh negara melalui otoritas hukum yang dimilikinya.
Oleh sebabnya, antara kebebasan dan otoritas yang dimiliki negara haruslah seimbang dalam arti tidak saling mengecilkan atau bahkan menegasikan. Dan yang menjadi unik dalam UUD 1945 pasca amandemen, otoritas hukum (oleh negara) tersebut haruslah pula difungsikan untuk menjamin tidak sekedar hak asasi manusia, melainkan juga menjamin berfungsinya pelaksanaan kewajiban asasi.37 Pengaturan secara khusus kewajiban asasi inilah merupakan salah satu corak konstitutionalisme di Indonesia yang ada pada UUD 1945 pasca amandemen.
Pandangan yang cukup mendasar pula tentang konsepsi hak pernah pula diutarakan oleh Soepomo, yang mencoba merasakan adanya sifat khas pada orang Indonesia. Sehingga pada waktu menjadi arsitek UUD 1945, pikirannya itu dituangkan dalam arsitektur UUD. Salah satunya, dalam pidato Soepomo di Yogyakarta tahun 1927, Soepomo sudah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengertian antara ‘aku’ di Indonesia dan di Barat. Dikatakannya, bahwa ‘akoe di tanah kita melingkoengi golongannja, sedang ‘akoe’ di tanah Barat hanja melingkoengi diri sandiri’. Pandangan ini begitu saja ditebas oleh penganut paham HAM yang universal, seolah-olah itu adalah pandangan Soepomo pribadi yang notabene keliru.[8]
Corak konstitutionalisme yang berbeda dan beragam tersebut, sesungguhnya tidak sekedar dirujuk dari hanya soal kebebasan dan kewajiban asasinya. Perumusan konsep hak asasi manusia dalam setiap konstitusi dari masing-masing negara mau tidak mau sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup, pengalaman, dan kepentingan masyarakat dari masing-masing negara di dunia. Yang itu berarti pelaksanaan atau perwujudan hak asasi manusia di tiap-tiap negara juga sangat dipengaruhi oleh sejarah perkembangan masyarakat dari masing-masing Negara tersebut. Artinya ada dua aras dalam melihat corak konstitutionalisme, yakni aras tekstual yang mendeskripsikan konstitutionalisme dari sumber hukum dasarnya, dan aras tafsir konteks dan implementasi tekstualitasnya yang lebih melihat coraknya dari pengalaman sosial politik yang mewarnai pelaksanaannya.
Contoh aras kedua ini misalnya menganalisis efektifitas hak atas kebebasan berserikat,berkumpul dan mengeluarkan pendapat, yang pada prakteknya semasa Orde Baru lebih banyak dikebiri justru bukan dari sumber hukum dasarnya, tetapi melalui perundang-undangan dan kebijakan politik yang dikendalikan penguasa atau rezim masa itu. Salah satu studi konstitutionalisme yang ditulis Nusantara terkait dengan aras tafsir konteks dan implementasi tekstualitasnya, ia menyimpulkan di level praksis, efektifitas pelaksanaan hak-hak constitutional tersebut tidak semata-mata tergantung pada kelayakan mekanisme dan prosedur-prosedur hukum yang diperlukan bagi pelaksanaan hak tersebut, tetapi yang lebih penting lagi adalah, efektifitas pelaksanaan hak-hak konstitutional itu sangat tergantung pada kelayakan sumberdaya politik yang harus dipunyai oleh warga masyarakat yang memang menginginkan hak-hak konstitusionalnya dipenuhi oleh negara.[9]
Tentu, mengkaji UUD 1945 pasca amandemen dari sisi corak konstitusionalisme yang demikian baik dalam aras tekstualnya, belum tentu sejalan dengan aras tafsir dan implementasi tekstualnya. Inilah ruang kajian yang demikian luas bagi studi-studi ketatanegaraan yang bias dikembangkan lebih jauh, yang perkembangannya sejalan dan berdampingan dengan dinamika sosial politiknya.

C.    Konsepsi Tanggung Jawab Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945
Mengkaji sistem ketatanegaraan belumlah cukup hanya dengan mengkaji dari sisi asas atau ajaran dalam konstitusi, karena konstitusi berbeda dengan hukum konstitusi dan ia hanya salah satu sumber dari hukum konstitusi.
Ada dua pembedaan fungsi dan tujuan negara, yakni fungsi dan tujuan negara klasik dan fungsi dan tujuan negara modern. Fungsi dan tujuan negara klasik ialah hanya memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat, negara hanya merupakan negara penjaga malam (nacht wakerstaat).  Sedangkan fungsi dan tujuan negara yang modern adalah di samping berfungsi pemeliharaan ketertiban dan keamanan, negara juga berfungsi dan bertujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi seluruh warganya dalam arti seluas-luasnya, jasmaniah, rohaniah, di lapangan ekonomi, sosial, kultural, dan lain-lain.  Pembedaan tersebut juga memiliki implikasi terhadap konteks hukum dalam kaitan fungsi dan tujuan negara hukum, dimana Prof. Dr. E. Utrecht menyatakan adanya “klassiekerechtstaat” (negara hukum klasik atau negara hukum dalam arti formal) dan “modernrechtstaat” (negara hukum modern dalam arti materiil, yang melihat berlakunya hukum yang tidak hanya tertulis, tetapi mengkui hukum tidak tertulis serta melihat tujuan negara yang lebih memperluas kesejahteraan warganya).
Para pendiri negara kita telah mengkonsepsikan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum, negara yang demokratis (berkedaulatan rakyat), berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan berkeadilan sosial, atau disebut oleh Prof. Mukhtie sebagai “theo-democratische-sozial-rechstaat”.  Indonesia yang menegaskan dirinya sebagai negara hukum, memiliki beberapa tujuan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yang salah satunya menyebutkan tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga ia terkategori sebagai bagian dari bentuk negara hukum modern (modernsrechtstaat).
Meskipun demikian, kita harus lebih berhati-hati menggunakan pengistilahan modern dalam arti tersebut, karena seringkali pemahamannya akan justru terjebak dalam simplifikasi “normativisme”. Karena istilah modern tidak serta merta berarti soal hukum harus tertulis, dan atau terundangkan, tetapi secara substansial mengandung pengertian pembeda dan lebih luas, yakni upaya mencapai tujuan penyejahteraan warga negaranya.
Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam amandemen I-IV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya, meskipun pasal-pasal atau dulu disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami banyak perubahan, bahwa konsepsi tujuan negara tersebut tetap dipergunakan sebagai landasan setiap penyelenggaran kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, dalam pasal-pasalnya, pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang nampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak yang diakui secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights 1948.
Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”  Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.
Kedua pasal tersebut juga memiliki konsepsi tersendiri sebagai elemen kewajiban negara. Konsepsi dalam pasal 28I ayat (4), saya sebut sebagai konsep realisasi progresif (progressive realization), yang secara substansi menegaskan bahwa negara harus memajukan kondisi hak-hak asasi manusia secara berkelanjutan, maju (tiada kesengajaan/kelalaian untuk mundur), dan jelas ukuran atau tahapannya. Sedangkan pasal 28I ayat (5), disebut sebagai konsepsi pendayagunaan kewenangan dan instrumentasi hukum. Artinya, negara dalam menjalankan kewajibannya, ia bisa menggunakan segala kewenangannya terutama untuk membangun instrumentasi hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak masyarakat, baik dalam pembentukan sarana-sarana kelembagaan yang melindungi hak-hak asasi manusia maupun proses legislasi.
Bila diperbandingkan, khususnya dalam diskursus hukum tanggung jawab negara atas hak asasi manusia, terutama bila kita menyimak perdebatan-perdebatan dalam sidang umum PBB untuk melihat laporan hasil kemajuan rutin masalah hak asasi manusia di setiap negara, dikenal pula konsepsi tanggung jawab negara dalam mandat hukum internasional. Konsepsi tersebut disandarkan pada instrumentasi hukum hak asasi manusia internasional, yakni pasal 2 ayat (1) International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 (selanjutnya disebut ICESCR 1966), dinyatakan: “Each State party to the present Covenant undertakes to take steps, individually and through international assistance and co - operation, especially economic and technical, to the maximum of available resources, with a view to achieving progressively the full realization of the rights recognized in the present Covenant by all appropriate means, including particularly the adoption of legislative measures.”
Dalam UU HAM, juga sama dengan kontruksi hukum yang ada dalam UUD 1945, yakni mendayagunakan kewenangan dan sarana-sarana hukum, baik pembentukan lembaga dan hukum baru, review perundang-undangan atau kebijakan, atau juga ratifikasi aturan hukum internasional.
Bisa disimpulkan bahwa, baik UUD 1945 maupun UU HAM tidak mengenal konsep kewajiban negara yang pertama dan kedua, yakni yang berupa mengambil langkah-langkah dan upaya pemaksimalan sumberdaya. Secara konsepsional, tanggung jawab negara yang dimiliki dalam UUD 1945 pasca amandemen dengan hukum HAM internasional masih kurang lengkap, sehingga faktor ini pulalah yang menyebabkan banyak permasalahan HAM terutama dalam bidang hak ekonomi, sosial dan budaya kurang diperhatikan. Salah satu contohnya adalah, ketidakbecusan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan dasar rakyat miskin bukanlah dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap kewajiban negara dalam hak-hak asasi manusia, melainkan hanya dilihat sebagai persoalan programatik prosedural dan kewajaran tanpa ukuran yang jelas, baik arah maupun dasar perumusannya. Oleh sebab itu, kegagalan negara dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia sesungguhnya telah dimulai dalam kerangka hukum normatifnya dalam konstitusi yang lemah dan tidak lengkap.
Di sisi lain, konsep tanggung jawab yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen, mengenal apa yang disebut kewajiban asasi (human obligations), sebagaimana diatur dalam pasal 28J ayat (1) dan (2). Dalam pasal tersebut, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Konsep human obligations ini dimaksudkan untuk melengkapi bahwa persoalan hak-hak asasi manusia tidak sekedar persoalan di tanggung jawab negara, tetapi ada pula kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap manusia termasuk wilayah-wilayah yang tidak mungkin seratus persen dijangkau oleh negara. Seperti contoh persoalan kekerasan dalam rumah tangga, pemaksaan keyakinan atau agama dalam keluarga, eksploitasi anak-anak dalam ekonomi keluarga, dan masih ada contoh lainnya yang mana negara tidak bisa terlibat sepenuhnya karena ada faktor non-negara seperti tradisi atau budaya. Meskipun demikian, konsep human obligations ini sama sekali tidak mengajak untuk menegasikan peran negara, melainkan justru sifatnya melengkapi peran utama negara dalam HAM (state responsibilities).




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Konstitusionalisme adalah suatu konsep atau gagasan yang berpendapat bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi, agar penyelenggaraan negara tidak sewenang-wenang atau otoriter. Dalam hal aktualisasi nilai-nilai konstitusionalisme dalam sistem politik yang demokratis, maka konstitusi memberikan kejelasan dalam konsep Trias politica atau pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Keterkaitan antara konstitusi dengan hak asasi manusia juga dapat dilihat dari perkembangan sejarah. Perjuangan perlindungan hak asasi manusia selalu terkait dengan perkembangan upaya pembatasan dan pengaturan kekuasaan yang merupakan ajaran konstitusionalisme.
2.      Corak konstitutionalisme yang berbeda dan beragam dalam konstitusi UUD 1945, sesungguhnya tidak sekedar dirujuk dari hanya soal kebebasan dan kewajiban asasinya. Perumusan konsep hak asasi manusia dalam setiap konstitusi dari masing-masing negara mau tidak mau sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup, pengalaman, dan kepentingan masyarakat dari masing-masing negara di dunia.
3.      Konsep tanggung jawab yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen, mengenal apa yang disebut kewajiban asasi (human obligations), sebagaimana diatur dalam pasal 28J ayat (1) dan (2).





DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim Garuda Nusantara. 1988. Politik Hukum Indonesia, Politik Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Jimly Asshiddiqie. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konpress.
Kuntjoro Purbopranoto. 1979. Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila. Jakarta: Pradnya Paramita
Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Soetandyo Wignyosoebroto. 2002. Hak-Hak Asasi Manusia Konstitutionalisme: Hubungan Antara Masyarakat dan Negara, dalam Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya.
Soetandyo Wignyosoebroto. 2003. Konstitusi, Konstitutionalisme dan Hak Asasi Manusia, dalam Tolerasi dalam Keragaman: Visi untuk Abad ke-21, Kumpulan Tulisan tentang Hak Asasi Manusia, Pusham Ubaya dan The Asia Foundation, Surabaya.
file:///E:/DEADLINE/herlambang-konstitutionalisme-dan-tanggung-jawab-negara2.pdf


[1] Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, Edisi Kedua, 1991, h. 521.
[2] Soetandyo Wignyosoebroto, Hak-Hak Asasi Manusia Konstitutionalisme: Hubungan Antara Masyarakat dan Negara, dalam Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam-HuMa, November 2002, h. 415-417.
[3] Kuntjoro Purbopranoto, Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979
[4]  Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 171
[5] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 173
[6] Carlton Clymer Rodee, dkk. Pengantar Ilmu Politik, diterjemahkan dari judul asli, Introduction to Political Science, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) hal. 75
[7] Soetandyo Wignyosoebroto, Konstitusi, Konstitutionalisme dan Hak Asasi Manusia, dalam Tolerasi dalam Keragaman : Visi untuk Abad ke-21, Kumpulan Tulisan tentang Hak Asasi Manusia, Pusham Ubaya dan The Asia Foundation, Surabaya, Januari 2003, h. 16-18.
[8] Attamimi (1990: 55-64), dalam Satjipto Rahardjo, Manusia Indonesia dalam Hukum Indonesia, diambil dari Kumpulan Tulisan, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Desember 2003, h. 39-40.
[9] Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, 1988, h. 176.

Komentar